Apakah darah itu najis? Sebagian ulama menyatakan tidak najis, namun mayoritasnya menyatakan darah itu najis.
Coba kita lihat kajian Manhajus Salikin berikut ini.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata:
Di antara yang termasuk najis:
- Kencing dan kotoran manusia
- Darah, kecuali dimaafkan untuk darah yang sedikit. Contoh darah yang najis adalah darah yang mengalir dari hewan yang halal dimakan. Sedangkan darah yang tersisa di daging dan urat, maka itu suci.
Penjelasan:
- Kencing dan kotoran manusia dihukumi najis berdasarkan ijmak atau kata sepakat ulama.
- Darah juga dihukumi najis menurut Syaikh As-Sa’di. Sebagian ulama lainnya menganggap ada ijmak dalam hal ini bahwa darah itu najis.
- Darah yang mengalir hasil penyembelihan hewan yang halal dimakan dihukumi najis.
- Masih dimaafkan darah yang sedikit seperti darah yang tersisa pada daging dan urat.
- Darah terbagi menjadi dua yaitu darah yang keluar dari kemaluan seperti haid, nifas dan istihadhah dihukumi najis menurut ijmak para ulama. Sedangkan yang diperselisihkan pendapat mengenai darah yang keluar dari selain dua jalan (kemaluan dan dubur) seperti darah mimisan dan darah luka, termasuk pula darah masfuhah (yang mengalir).
Najis Kencing dan Kotoran Manusia
Dalil najisnya kotoran manusia adalah perintah untuk beristinja’ atau beristijmar dengan batu setelah buang hajat. Sedangkan yang menunjukkan kencing itu najis adalah hadits Arab Badui yang kencing di masjid dan diperintahkan kencingnya untuk disiram.
Disebutkan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,
جَاءَ أَعْرَابِىٌّ فَبَالَ فِى طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ ، فَزَجَرَهُ النَّاسُ ، فَنَهَاهُمُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ ، فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ
“Ada seorang Arab Badui kencing di salah satu bagian masjid, lantas orang-orang ingin memarahinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka yang menghardik tadi. Ketika Arab Badui telah kencing, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil satu wadah berisi air untuk disiram pada kencing tersebut.” (HR. Bukhari, no. 221 dan Muslim, no. 284)
Darah itu Najis
Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (21:25) disebutkan bahwa para fuqaha sepakat, darah itu dihukumi haram dan najis, darah tersebut tidak boleh dimakan, dan tidak boleh dimanfaatkan. Para ulama hanya berbeda pendapat pada darah yang sedikit. Tentang kadar sedikit pun, mereka berselisih pendapat.
Dalilnya di antaranya adalah,
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu rijsun (kotor).” (QS. Al-An’am: 145). Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari menyatakan bahwa yang dimaksud rijsun di sini adalah najis dan kotor. (Jami’ Al-Bayan, 8:93)
Dari Asma’ radhiyallahu anha, ia berkata,
جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
“Seorang perempuan datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ‘Pakaian salah seorang dari kami terkena darah haid, apa yang harus ia lakukan?’ Beliau menjawab, ‘Keriklah darah itu terlebih dahulu, kemudian bilaslah dengan air, kemudian cucilah ia. Setelah itu engkau boleh memakainya untuk shalat.” (HR. Bukhari, no. 330 dan Muslim, no. 291)
Imam Bukhari membawakan hadits di atas dalam Bab “Mencuci Darah”. Imam Nawawi juga membuat judul untuk hadits di atas, Bab “Najisnya darah dan cara mencucinya”. Walaupun penyebutan hadits tersebut membicarakan tentang darah haidh. Namun semua darah itu sama, tidak dibedakan darah yang satu dan darah lainnya, juga tidak dibedakan dari mana darah itu keluar.
Ada atsar dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa jika ia melihat di bajunya itu darah saat ia shalat, beliau meletakkannya dan beliau melanjutkan shalat. (HR. Bukhari secara mu’allaq tanpa sanad dibawakan dalam Bab “Jika seseorang yang shalat menemukan di punggungnya kotoran najis atau bangkai, shalatnya tidaklah rusak”)
Imam Ahmad pernah ditanya, “Bagaimanakah hukum darah dan muntah, apakah sama menurutmu?” Imam Ahmad menjawab, “Darah tidak ada beda pendapat di kalangan para ulama (mengenai najisnya, pen.). Sedangkan muntah, para ulama memiliki beda pendapat.” (Syarh ‘Umdah Al-Fiqh karya Ibnu Taimiyah, 1:105)
Imam Al-Qarafi dalam Al-Furuq (2:119) sampai mengatakan, “Adapun darah, aku tidaklah melihat ada ulama yang menganggapnya suci.”
Imam Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Ada ijmak di antara para ulama, bahwa darah yang mengalir itu rijsun najis.” (At-Tamhid, 22:230)
Imam Nawawi menyatakan, “Darah itu najis dan ini adalah ijmak kaum muslimin.” (Syarh Shahih Muslim, 3:177)
Imam Al-‘Aini dalam ‘Umdah Al-Qari (3:141) menyatakan bahwa darah itu najis berdasarkan ijmak para ulama.
Darah yang Tidak Najis
1- Darah yang ada di urat setelah penyembelihan karena darah tersebut bukanlah darah al-masfuh (darah yang mengalir). Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari menyatakan, “Haramnya darah adalah darah yang mengalir. Adapun daging yang bercampur dengan darah, maka tidaklah mengapa.” (Jami’ Al-Bayan, 8:92)
2- Darah orang yang mati syahid. Dalilnya, para sahabat yang mati syahid ketika perang Uhud diperintahkan untuk dikubur dengan darah mereka, tidak dimandikan, dan tidak dishalatkan. (HR. Bukhari, no. 4079)
3- Darah ikan. Karena kalau bangkai ikan itu halal tanpa jalan penyembelihan, maka tentu darahnya pun dihukumi suci.
4- Darah hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti kutu dan lalat. Sebagian ulama menyebutkan bahwa darahnya tetap najis namun dimaafkan seperti pendapat dalam madzhab Syafi’iyah.
5- Darah yang dianggap sedikit sesuai dengan kaedah fikih “al-masyaqqah tajlibut taysir”, yaitu kesulitan itu mendatangkan kemudahan. Dalilnya adalah dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan,
مَا كَانَ لإِحْدَانَا إِلاَّ ثَوْبٌ وَاحِدٌ تَحِيضُ فِيهِ ، فَإِذَا أَصَابَهُ شَىْءٌ مِنْ دَمٍ ، قَالَتْ بِرِيقِهَا فَقَصَعَتْهُ بِظُفْرِهَا
“Kami terbiasa mengenakan satu pakaian yang kami kenakan saat haid. Jika pakaian kami terkena darah, cukup menuangkan air, lalu darah tersebut dikerik dengan kuku.” (HR. Bukhari, no. 312). Kalau dikatakan dengan kalimat riiq (menuangkan), maka berarti tidak bisa bersih secara total, ada darah sedikit yang tersisa dan malah kuku yang membawa najisnya. Lihat Al-Mughni, 2:482.
Semoga bermanfaat.
Referensi:
- Ad-Damm wa Al-Ahkam Al-Muta’alliqah bihi Syar’an. Cetakan pertama, Tahun 1426 H. ‘Abdullah bin Muhammad Ath-Thariqi. hlm. 18-37.
- Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Awqaf wa Syu’un Islamiyyah Kuwait.
- Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan pertama, tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
- Al–Mughni. Cetakan Tahun 1432 H. Ibnu Qudamah. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.
- Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, no. 207812. https://islamqa.info/ar/207812
- Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As- Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 1:62-65.
- Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Aay Al-Qur’an. Cetakan pertama, tahun 1423 H. Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
- Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan ketiga, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj. hlm. 38-40.
Tulisan ini adalah pendapat Rumaysho.Com terbaru sebagai ralat dari pendapat lama dalam tulisan:
—
Diselesaikan @ Perpus Rumaysho, Panggang, Gunungkidul, 16 Dzulhijjah 1438 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com